Dibalik Pandemi, Mendatangkan Banyak Syukur

01.45 , 0 Comments

Gak kerasa kalau udah hampir 6 bulan jadi pekerja kantoran yang kerja dari rumah, adanya pandemi korona ini menyebabkan kami bekerja dari rumah, dengan fasilitas yang ada dan kondisi yang memang dikondisikan sehingga layak untuk bekerja. Tak ada yang menyangka ini akan terjadi, tak ada yang langsung menerima perubahan yang terlalu signifikan ini. Masih teringat jelas, di pertengahan maret, saat 2 orang sudah positif di jakarta, saya dan teman kantor masih ke serang untuk dinas karena tugas kantor. Memendam ketakutan tapi sambil waspada membawa alat pencegahan. Suasana agak suram, tapi lega bisa kembali ke yogyakarta dalam keadaan baik-baik saja, Alhamdulillah.

Sekarang sudah agustus, memandang kebelakang ternyata manusia memang mahluk yang cepat beradaptasi, bekerja dengan dikelilingi anak, sangat berat ku rasakan pada awalnya, sampai hampir menyerah ingin kembali ke kantor lagi. Kehilangan waktu berbincang dan waktu untuk diri sendiri membuat tubuh berasa lebih letih. Bahkan menjadi ibu sambil bekerja membuat tugas terasa tak ada hentinya. Tapi tak ada yang lebih baik selain memantapkan hati agar hari esok bisa lebih baik dari hari ini.

Hampir setiap malam, mata jarang mengantuk, waktu memang tidak bisa ku pastikan seperti dulu. Ketika orang bertanya bagaimana agar aku tidak merasa bersalah meninggalkan anak berkerja adalah karena memang aq memastikan tidak ada pekerjaan yang kubawa ke rumah setiap harinya, laptop tak pernah tersentuh di rumah, karena setelah sampai rumah, maka peranku pun berganti, menjadi ibu yang momong anak -anaknya. Tapi sekarang tak ada salahnya ku buka laptop di tengah malam, untuk mengganti pekerjaanku yang tadi siang ku tinggalkan. Herannya tak ada rasa bersalah untuk anak-anak, dan tak ada rasa bersalah untuk kantor, karena tak ku tinggalkan tanggungjawabku dikeduanya.

Dan hubungan dengan suami, semakin berkualitas, kadang kami pergi berdua untuk mencari perlengkapan rumah tangga, karena semenjak pandemi saya bahkan jarang ke minimarket, semua kebutuhan dibelikan oleh suami, suami jadi jago belanja, ntah ke pasar atau minimarket. Jadi kalau mendesak kami menggunakan waktu 2-3 jam untuk pergi keluar mencari perlengkapan yang dibutuhkan. yang dimana dulunya jarang kami lakukan karena tidak bisa meninggalkan anak anak di sabtu minggu, karena cuma itulah waktu kami yang paling senggang. 2-3 jam memang rasanya singkat, tapi ternyata kalau berkualitas bisa membahas banyak hal.

Pandemi ini juga menguji caraku bertetangga, caraku menyelesaikan masalah yang mungkin selama ini hanya kuhindari tidak aku selesaikan. Rsanya memang semua masalah datang dalam waktu yang sama, bertumpuk meminta prioritas, tapi membuatku belajar memilah dan memilih mana yang ahrus diselesaikan dalam waktu cepat, mana yang harus kupikirkan dulu dampaknya. Bahkan ada yang memang sengaja ku endapkan dulu, karena memang tidak semua masalah harus selesai dalam waktu yang cepat.

Pandemi, tentunya kami ingin ini cepat berlalu, tapi terima kasih karena telah memberikan kami waktu untuk melihat nikmat dari sudut pandang yang lain, menaikkan kepercayaan diri kami untuk bertahan dalam banyak keadaan.

0 comments:

Jadi Ibu kerja kantoran, pernahkah ingin resign?

22.01 0 Comments

Pernahhhh lahh... kira-kira gitu lah jawabannya hehe

Kebetulan aku tu kerja di salah satu perusahaan Teknologi Informasi di yogyakarta, dimana pekerjaannya memang sering melakukan perjalanan keluar kota. Waktu masih gadis sampe hamil anak pertama masih aman-aman aja, malah seneng banget bisa keliling indonesia. Karena memang seru banget dan banyak dapat pengalaman selama dinas keluar kota.

Kepikiran resign itu aku inget banget waktu hamil anak pertama, aku belum dapat orang yang bisa dipercaya buat bantu menjaga anak saat aq kerja dan juga belum kebayang tu nanti kalo aku keluar kota anakku sama siapa. Bahkan belum ngobrol sama suami, hanya angan-angan aja. Waktu itu yang ada di pikiranku, kalau aq minta keringanan sama perusahaan selama asi ekslusif pasti perusahaan akan ngasih keringanan, tapi gak mungkin seterusnya gak dinas luar kan, karena emang pekerjaan utamaku memang mengharuskan aku keluar kota, aku juga gak mau merugikan perusahaan dengan menolak melaksanakan pekerjaanku dan mendelagasikan ke orang lain.

Waktu itu aq sampaikan ke suami, suami kasih saran kalau aku resign aku gak boleh ngeluh kalau pemasukan kita terbatas, gpp resign tapi harus bersyukur sama pemasukan yang ada. Tapi, kalau aq tetep kerja suami bilang, kami akan sama sama berkomitment untuk saling support, kalau aku dinas luar kota maka suami yang akan menjaga anak-anak. Gak ngira banget sih ternyata itu adalah salah satu hal yang bikin aku yakin untuk tetap bekerja, walaupun di jaman anak pertama mom shaming soal ibu bekerja di rumah vs ibu bekerja dikantor itu lagi marah-maraknya😂😂. Yupp jadi dulu kayak ada anggapan ibu di rumah itu dianggap "ibu gak bekerja", dan ibu bekerja di kantor itu sering dianggap lebih mentingin karir daripada anak. Padahal sejatinya sama-sama ibu dan sama - sama bekerja. Bahkan banyak juga ibu yang bekerja dari rumah loh. Apapun pilihannya yang penting sesuai sama kondisi kita masing-masing.

Banyak sih orang-orang kantor yang bilang kalo aq tu kelihatan kayak gak susah atau sedih kalo ninggalin anak ke kantor atau luar kota. Tapi itu gak terjadi cuma pake jentikan jari gaiss hehe, ada pilihan berarti ada konsekuensi, karena aq memilih menjadi ibu bekerja di kantor, tapi banyak moment-moment untuk diriku sendiri atau main sama temen yang aku kurangin. Banyak kegiatan yang lagi booming yang gak bisa aku ikutin trendnya. Tapi alhamdulillah karena pilihan sendiri walaupun gak mudah tapi juga gak berat berat banget ngejalaninnya. So buat kalian yg sekarang bekerja ataupun dirumah, semua ada resiko yg harus kita ambil karena pilihan. Tapi pastikan bahwa kalian sendiri yang memilih dengan konsekuensi yg paling siap kalian tanggung, tetap semangat ya😊.


0 comments: